Senin, 17 Januari 2011

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham


Sebelumnya perkenankan kami mengucapkan selamat atas ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 pada tanggal 30 Desember 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan. Sekalipun pada perihal menimbang dicantumkan yaitu keperluan untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan serta perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan rasanya juga tidak salah dikatakan telah memberikan ketegasan atas beberapa issue yang selama ini berkembang.
Pemeriksa melihat hal ini dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 dimana tercantum bagian Surat Direktur Jenderal Pajak  Nomor S - 165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992.
Menurut kami semuanya berasal dari Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2008 yang menyatakan:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya”
Dengan penjelasan :
“Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method).Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak”
Atas hal tersebut diatas maka kami akan menggarisbawahi :
1.       Tujuan penerapan Pasal 18 ayat 3 UU PPh adalah untuk menghitung penghasilan kena pajak saja.
Sehingga apapun hasil produk yang dihasilkan bertujuan untuk menghitung penghasilan kena pajak baik sebelum atau sesudah pengenaan pasal 18 ayat 3 UU PPh. Sehingga tidak ada tujuan lagi melebihi menghitung penghasilan kena pajak.
2.       Atau Metode Lainnya.
Khusus untuk metode lainnya kami dapat sampaikan bahwa ini merupakan peluang yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menjadi payung hokum kepada pelaksana di lapangan.
Rasanya kami sepakat bahwa sebenarnya dengan Pasal 18 Ayat 3 UU PPh petugas di lapangan seharusnya diantaranya melakukan koreksi dengan menganggap hutang dari pemegang saham merupakan setoran modal sehingga atas biaya bunga dapat dianggap sebagai deviden apabila ada modal yang belum disetor seluruhya namun telah memberikan pinjaman dan membebankan bunga.
Sehingga terhadap Metode lainnya kami pernah berdiskusi dengan teman kami di DJP (Alumni DIII STAN dan bukan Sarjana) serta sepakat bahwa metode lainnya yang dimaksud seharusnya :
1.       Konsisten dalam pelaksanaannya dan berorientasi kepada pemberian upaya mengamankan (bukan meningkatkan) penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.       Alumni DIII STAN tersebut memiliki beberapa metode lainnya yang menurutnya dapat dipakai yaitu :
1.       Dana tersebut berasal dari pemegang saham.
2.       Hutang tersebut merupakan hutang jangka panjang dan bukan jangka pendek (kurang dari setahun)
3.       Jika perusahaan itu adalah murni industri maka perusahaan tersebut terbukti menggunakan dana pinjaman sebagai pembelian barang modal seperti mesin, bangunan, dan bukan persediaan sehingga tingkat pengembalian wajarnya tidak perlu menggunakan bunga tetapi seharusnya berupa deviden.
4.       Jika perusahaan itu secara substansi adalah subkontraktor maka syarat ketiga tidak harus digunakan.
Kami setuju atas hal tersebut diatas karena jika dihubungkan dengan PP Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010  maka akan kita rasakan hubungannya.
Karena apabila kita melakukan koreksi sesuai Pasal 18 Ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008 maka dapat dipastikan :
1.       Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain. (Ingat metode pertama teman DIII kami  )
2.       Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya (Ingat penjelasan Pasal 18 Ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008; Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Sehingga apabila DJP telah menggunakan kewenangannya berarti modal tersebut telah disetor penuh dan tidak dapat disangkal lagi sekalipun hanya dianggap)
3.       Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi ; dan (ini mengingatkan metode teman DIII kami bahwa dapat ditandai dengan semakin  lamanya jangka pinjaman dapat dipakai untuk  menentukan pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi )
4.       Perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya (Pada kriteria nomor 4 ini kami dingatkan mengenai metode teman DIII Kami tentang jika perusahaan itu adalah murni industri maka perusahaan tersebut terbukti menggunakan dana pinjaman sebagai pembelian barang modal seperti mesin, bangunan, dan bukan persediaan sehingga tingkat pengembalian wajarnya tidak perlu menggunakan bunga tetapi seharusnya berupa deviden. Sehingga agak sulit bagi kita menyatakan bahwa penerimaan pinjaman tidak dalam kesulitan keuangan karena hutangnya digunakan untuk aktiva yang tidak lancar.
Yang menjadi pertanyaan tertinggal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 seperti kenapa menggunakan kata diperkenankan atau kenapa menggunakan kata-kata berasal. Hal yang sama ditanyakan kepada kami oleh petugas di Direktorat Jenderal Pajak.
Hal yang dapat disampaikan diantaranya apa konsukwensi jika petugas di lapangan tidak memeriksa mengenai pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham ? apakah itu artinya pemeriksa memperkenankan sekalipun tanpa memeriksa ? ini menjadi bahan kajian kami saat ini karena kami berharap adanya jawaban atau  kejelasan mengenai ketentuan tersebut maksud kata perkenankan atau tidak perlu seperti yang tercantum dalam S-165//PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992..
Hal lain yang disampaikan adalah apakah ada maksud kata-kata berasal dan bukan menggunakan kata milik misalnya. Kami punya pengalaman dengan tim pembahas unit pelaksana pada tahun 2002 bahwa sekalipun dana bukan berasal dari pemegang saham masih dapat dikatakan menjadi berasal dari dana milik pemegang saham sehingga tidak perlu dilakukan koreksi karena saat itu perusahaan yang diperiksa dalam keadaan penghasilan kena pajak yang cukup tinggi. (kami membayangkan saja bahwa petugas di Lapangan itu sedang mengamankan penerimaan negara, namun kurang mewujudkan system perpajakan yang netral dengan berorientasi penerimaan)
Jadi kami berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 cukup jelas dapat dipahami secara kata-kata sehingga tidak menimbulkan multi tafsir seperti yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia saat ini.
Akhir kata marilah kita menyambut Peraturan Pemerintah ini secara proporsional dan penuh sikap kehati-hatian khususnya terhadap pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
Salam

Sabtu, 15 Januari 2011

Pemeriksaan Ulang

Beberapa saat yang lalu teman saya sebagai Wajib Pajak yang terdaftar di salah satu KPP menggabarkan akan dilakukan pemeriksaan ulang. Atas  peristiwa tersebut Wajib Pajak menyatakan keberatan dan berencana akan mengajukan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Atas hal tersebut maka kami berpendapat :
Untuk menghindarkan terjadinya pemeriksaan yang berulang-ulang pada suatu tahun pajak yang sama, maka setiap pemeriksaan baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan harus meliputi seluruh jenis pajak yang menjadi kewajiban dari Wajib Pajak yang bersangkutan.Pada dasarnya terhadap Wajib Pajak yang pada suatu tahun pajak telah dilakukan pemeriksaan walaupun pemeriksaan tersebut hanya untuk jenis pajak tertentu, tidak diperkenankan untuk dilakukan pemeriksaan ulang kecuali jika terdapat indikasi yang kuat adanya tindak pidana fiskal atau hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 UU Ketentuan Umum Perpajakan.
Terhadap Wajib Pajak penerima Piagam Penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar baik tingkat nasional maupun tingkat regional pemeriksaannya ditangguhkan kecuali jika Wajib Pajak tersebut mengajukan restitusi atau terdapat data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang merupakan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan.Usul mengenai pemeriksaan ulang ataupun pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang menerima Piagam Penghargaan sebagai pembayar pajak terbesar sebagaimana dimaksud pada butir 2 dan butir 3 di atas, harus diajukan langsung kepada Direktur Jenderal Pajak oleh Kepala Kantor Wilayah untuk mendapatkan keputusan.
Bebarapa hal yang harus diperhatikan :
1.          Ketetapan Pajak Hasil Pemeriksaan bukan merupakan sebuah ketetapan tetap yang besifat tetap. Hal ini dijuga dinyatakan dalam beberapa literature yang memuat bahwa SKP adalah perhitungan menurut fiskus sekalipun namun karena  persetujuan wajib pajak maka ketetapan tersebut adalah bersifat sementara. Hal ini perlu dipahami karena atas ketetapan pajak  dapat dikatakan memiliki ketetapan tetap seharusnya  sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung.
2.          Direktorat  Jenderal Pajak berpotensi memiliki lebih dari satu kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang seperti adanya Data Baru atau Data Yang Semula Belum Terungkap. Pada kalimat ini kita dapat membaca kewajiban mengungkapkan semula ada di Wajib Pajak dan bukan pada pemeriksa sehingga apabila Wajib Pajak tidak mengungkapkan maka dapat dikatakan sebagai Data Baru.
3.          Wajib Pajak tidak dapat membedakan pemeriksaan pertama atau pemeriksaan ulang karena berdasarkan asumsi Wajib Pajak, pemeriksaan dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan yang sama. Selain itu Wajib Pajak dalam menanggapi pemeriksaan pasti tidak berpikir untuk diperiksa ulang. Sehingga pemeriksaan ulang nyaris tidak ada yang mengguntungkan Wajib Pajak
Kesimpulan yang dapat dibuat :
1.          Ketetapan Pajak yang memiliki ketetapan tetap dan mengikat adalah ketetapan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Kami berharap jika seluruh pihak telah merenunggi hal ini tidak lagi ada pihak yang akan memanfaatkan hasil ketetapan pemeriksaan apalagi yang sifatnya melanggar kode etik. Karena tidak ada pihak lain yang dapat menjamin hasil ketetapan pemeriksaan adalah bersifat tetap dan mengikat selain Mahkamah Agung
2.           Kita harus menghargai proses pemeriksaan terdahulu baik terhadap Wajib Pajak maupun terhadap pemeriksa terdahulu karena telah dibatasi bahwa ruang lingkup pemeriksaan ulang adalah Data Baru atau Data Yang Semula Belum Terungkap. Sehingga sebaiknya kita terlebih dahulu mendefinisikan terungkap atau belum terungkap untuk memulai pemeriksaan ulang itu dilakukan.
Menurut kami definisi terungkap atau belum terungkap yang tepat adalah adanya bukti peminjaman dokumen yang ada pada saat pemeriksaan. Pemeriksaan ulang harus  bersifat adil  terutama bagi wajib pajak yang telah melakukan kewajibannya pada saat pemeriksaan pertama. Terakhir kemungkinan novum atau kesalahan yang muncul sebagai dasar pemeriksaan ulang bukan karena Wajib Pajak namun karena pemeriksa pajak terdahulu yang tidak mampu mengungkapkan hasil pemeriksaan berdasarkan dokumen yang dipinjam dari Wajib Pajak.




Kata Pengantar

Pemahaman terhadap ketentuan perpajakan sangat penting bagi insan pajak. Tentu saja bukan dimaksudkan untuk mengetahui secara detail ketentuan perpajakan. Peraturan perpajakan sangat banyak dan senantiasa berubah-ubah. Sementara Anda ingin memahami peraturan baru, peraturan lainnya telah mengalami perubahan. Blog ini dimaksudkan untuk membantu anda memahami ketentuan perpajakan baik secara teori maupun secara praktek di lapangan.
Karena sifatnya membantu maka blog ini hanya berupaya membantu anda membangun landasan berpikir dalam upaya untuk memahami ketentuan perpajakan baik bagi Wajib Pajak, Pegawai DJP, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak memiliki kekuatan hukum dalam bentuk apapun.

Akhir kata, kami berharap Blog Wajib Pajak Jawa Timur ini bisa menjadi tambahan bahan bacaan dan referensi perpajakan khususnya di Wilayah DJP Jawa Timur, Kami akan sangat bahagia bila para pembaca bersedia memberikan kritik, saran, dan masukan untuk penyempurnaan di masa yang akan datang