Sebelumnya perkenankan kami
mengucapkan selamat atas ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 94 Tahun 2010 pada tanggal 30 Desember 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Sekalipun pada perihal menimbang dicantumkan yaitu keperluan untuk melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan serta perlunya menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan rasanya
juga tidak salah dikatakan telah memberikan ketegasan atas beberapa issue yang
selama ini berkembang.
Pemeriksa melihat hal ini dalam
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30
Desember 2010 dimana tercantum bagian Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli
1992.
Menurut kami semuanya berasal
dari Pasal 18 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2008 yang menyatakan:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau metode lainnya”
Dengan penjelasan :
“Maksud diadakannya ketentuan ini
adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat
terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya
melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai
dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut
digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price
method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti
metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method).Demikian pula kemungkinan
terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan
modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan,
misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang
lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.Dengan demikian, bunga yang
dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu
tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang
menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai
pajak”
Atas hal tersebut diatas maka
kami akan menggarisbawahi :
1.
Tujuan penerapan Pasal 18 ayat 3 UU PPh adalah untuk
menghitung penghasilan kena pajak saja.
Sehingga apapun hasil produk yang
dihasilkan bertujuan untuk menghitung penghasilan kena pajak baik sebelum atau
sesudah pengenaan pasal 18 ayat 3 UU PPh. Sehingga tidak ada tujuan lagi
melebihi menghitung penghasilan kena pajak.
2.
Atau Metode Lainnya.
Khusus untuk metode lainnya kami dapat sampaikan bahwa ini
merupakan peluang yang diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menjadi
payung hokum kepada pelaksana di lapangan.
Rasanya kami sepakat bahwa
sebenarnya dengan Pasal 18 Ayat 3 UU PPh petugas di lapangan seharusnya diantaranya
melakukan koreksi dengan menganggap hutang dari pemegang saham merupakan
setoran modal sehingga atas biaya bunga dapat dianggap sebagai deviden apabila
ada modal yang belum disetor seluruhya namun telah memberikan pinjaman
dan membebankan bunga.
Sehingga terhadap Metode lainnya
kami pernah berdiskusi dengan teman kami di DJP (Alumni DIII STAN dan bukan Sarjana) serta sepakat bahwa metode
lainnya yang dimaksud seharusnya :
1. Konsisten
dalam pelaksanaannya dan berorientasi kepada pemberian upaya mengamankan
(bukan meningkatkan) penerimaan negara yang semakin meningkat,
mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan
keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
2. Alumni
DIII STAN tersebut memiliki beberapa metode lainnya yang menurutnya dapat
dipakai yaitu :
1.
Dana tersebut berasal dari pemegang saham.
2.
Hutang tersebut merupakan hutang jangka panjang
dan bukan jangka pendek (kurang dari setahun)
3.
Jika perusahaan itu adalah murni industri maka
perusahaan tersebut terbukti menggunakan dana pinjaman sebagai pembelian barang
modal seperti mesin, bangunan, dan bukan persediaan sehingga tingkat
pengembalian wajarnya tidak perlu menggunakan bunga tetapi seharusnya berupa
deviden.
4.
Jika perusahaan itu secara substansi adalah
subkontraktor maka syarat ketiga tidak harus digunakan.
Kami setuju atas hal tersebut
diatas karena jika dihubungkan dengan PP Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30
Desember 2010 maka akan kita rasakan hubungannya.
Karena apabila kita melakukan
koreksi sesuai Pasal 18 Ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008 maka dapat dipastikan :
1. Pinjaman
tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal
dari pihak lain. (Ingat metode pertama
teman DIII kami )
2. Modal
yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya (Ingat penjelasan Pasal 18
Ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008; Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
utang tersebut sebagai modal perusahaan. Sehingga apabila DJP telah menggunakan
kewenangannya berarti modal tersebut telah disetor penuh dan tidak dapat
disangkal lagi sekalipun hanya dianggap)
3.
Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam
keadaan merugi ; dan (ini mengingatkan
metode teman DIII kami bahwa dapat ditandai dengan semakin lamanya jangka pinjaman dapat dipakai untuk menentukan pemberi pinjaman tidak dalam
keadaan merugi )
4.
Perseroan terbatas penerima pinjaman sedang
mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya (Pada kriteria nomor 4 ini kami dingatkan mengenai metode teman DIII
Kami tentang jika perusahaan itu adalah murni industri maka perusahaan
tersebut terbukti menggunakan dana pinjaman sebagai pembelian barang modal
seperti mesin, bangunan, dan bukan persediaan sehingga tingkat pengembalian
wajarnya tidak perlu menggunakan bunga tetapi seharusnya berupa deviden. Sehingga
agak sulit bagi kita menyatakan bahwa penerimaan pinjaman tidak dalam kesulitan
keuangan karena hutangnya digunakan untuk aktiva yang tidak lancar.
Yang menjadi pertanyaan
tertinggal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember
2010 seperti kenapa menggunakan kata diperkenankan atau kenapa
menggunakan kata-kata berasal. Hal
yang sama ditanyakan kepada kami oleh petugas di Direktorat Jenderal Pajak.
Hal yang dapat disampaikan diantaranya
apa konsukwensi jika petugas di lapangan tidak memeriksa mengenai pinjaman
tanpa bunga dari pemegang saham ? apakah itu artinya pemeriksa memperkenankan
sekalipun tanpa memeriksa ? ini menjadi bahan kajian kami saat ini karena kami
berharap adanya jawaban atau kejelasan
mengenai ketentuan tersebut maksud kata perkenankan atau tidak perlu seperti
yang tercantum dalam S-165//PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992..
Hal lain yang disampaikan adalah
apakah ada maksud kata-kata berasal dan bukan menggunakan kata milik
misalnya. Kami punya pengalaman dengan tim pembahas unit pelaksana pada tahun
2002 bahwa sekalipun dana bukan berasal dari pemegang saham masih dapat
dikatakan menjadi berasal dari dana milik pemegang saham sehingga tidak perlu
dilakukan koreksi karena saat itu perusahaan yang diperiksa dalam keadaan
penghasilan kena pajak yang cukup tinggi. (kami membayangkan saja bahwa petugas
di Lapangan itu sedang mengamankan penerimaan negara, namun kurang mewujudkan system
perpajakan yang netral dengan berorientasi penerimaan)
Jadi kami berpendapat bahwa
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 cukup jelas
dapat dipahami secara kata-kata sehingga tidak menimbulkan multi tafsir seperti
yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia saat ini.
Akhir kata marilah kita menyambut
Peraturan Pemerintah ini secara proporsional dan penuh sikap kehati-hatian
khususnya terhadap pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
Salam